Oleh Henri Nurcahyo
Ketika dilangsungkan Pameran Nasional Bonsai di halaman Carefour Cirebon, perhatian pengunjung langsung tersedot pada tiga bonsai yang ditata tidak sebagaimana lazimnya. Penataan itu mulai dari penggunaan pot yang aneh, disekat kanan kiri dengan bilik bambu, diberi asesoris berupa kembang kamboja dan miniatur bejana air serta hamparan pasir. Bahkan meja untuk ketiga bonsai itu menggunakan kain batik motif Megamendung, bukan kain polos seperti lainnya.
Bukan hanya itu, “pada waktu pembukaan malah saya nyalakan dupa di situ sambil saya setelkan musik Sunda,” jelas Nurul Fazri (36 tahun) pemilik ketiga bonsai kelas prospek tersebut. Tidak heran kalau pengunjung, apalagi masyarakat umum yang sedang belanja ke pusat perbelanjaan itu dipastikan berlama-lama mengamati sambil bertanya-tanya, apa maksudnya.
Menurut anggota PPBI Cabang Kuningan itu, penataan bonsai yang seperti itu sebelumnya sudah minta izin kepada panitia. Meskipun, kalau toh tidak diperbolehkan dia tetap akan melakukannya meski dengan konsekuensi tidak akan dinilai oleh juri. Toh ternyata juri tetap melakukan penilaian, dan salah satu bonsai itu berhasil mendapatkan bendera merah (baik sekali).
Kebetulan ketiga bonsai itu mendapat tempat di urutan kesatu hingga ketiga. Bonsai yang pertama, adalah santigi yang tumbuh di atas bongkahan batu besar yang berlubang di belakangnya. Andaikata bonsai ini dilihat dari arah belakang akan menimbulkan kesan sebuah pohon yang berada di dalam gua. “Memang ada yang menyarankan begitu, dibalik saja penampilannya,” ujar pengusaha permen dan biro perjajalanan umrah dan haji plus ini.
Lantaran kesannya adalah sebuah pohon yang ada di sebuah pulau batu, maka Fajri melengkapinya dengan hamparan pasir yang seolah-olah lautan, juga bunga kamboja yang berserakan. Namun anehnya, di tengah “lautan pasir” itu terdapat miniatur tempat air dan tungku untuk membakar dupa. Dalam imajinasinya, bonsai ini ditempatkan dalam suasana yang menghadirkan kekaguman lantaran mengingatkan adanya pohon yang mampu tumbuh di atas batu di tengah laut. “Kira-kira bisa mengingatkan Tanah Lot di Bali gitulah,” tambahnya.
Bonsai kedua, juga santigi, tampil lebih aneh lagi. Pot yang digunakan sangat tidak lazim, yaitu sebuah bakul dari anyaman bambu yang biasa untuk wadah nasi. Ini memang bakul asli, namun sudah diatur sedemikian rupa sehingga kuat menahan beban berat media dan bonsainya. Di dalamnya sudah diperkuat dengan kayu, tali kulit sapi dan alas kayu jati. Bakul nasi seperti itulah yang biasa digunakan pedagang tahu gejrot, kuliner khas Cirebon. Di bagian bawahnya terdapat miniatur bakul nasi lagi dan dua buah wadah air, serta juga bunga kamboja berserakan.
Bonsai kedua ini berangkat dari gagasan kekayaan budaya Cirebon, dalam hal ini kulinernya. “Memang seharusnya ada peralatan makanan yang berserakan di bawahnya, juga ada padi, sehingga kesan kulinernya menjadi kuat,” ujar Fazri. Sementara tampilan bonsainya sendiri meliak-liuk seperti gerakan orang menari. Bisa jadi, orang mengasosiasikan pada tari Jaipong yang memang khas Sunda.
Sedangkan bonsai yang ketiga menghadirkan tema “misteri”. Sebuah pohon santigi yang mustinya tumbuh menyamping, oleh Fazri sengaja dipasang terbalik dengan tekukan batang sebagai puncaknya. Kesannya menjadi seperi gaya air terjun (cascade) namun secara keseluruhan nampak aneh. Seperti pohon yang semula tumbuh ke atas, kemudian balik lagi ke bawah. Kesannya seperti mistik, pohon angker, sehingga dapat memunculkan munculkan aura tertentu. Bonsai santigi ketiga inilah yang termasuk mendapat predikat “baik sekali” menurut penilaian juri.
Baru Pertama Kali
Diakuinya, penampilan bonsai seperti itu memang baru pertama kali dilakukannya. Termasuk juga di Cirebon. Fazri sendiri mengaku terinspirasi foto-foto penampilan bonsai yang dibagikan Robert Steven mengenai adanya bonsai yang tampil tidak lazim. Ada bonsai yang menggunakan ban mobil bekas sebagai potnya, ada yang potnya pecah dan sebagainya.
Kemudian dia mencoba-coba sendiri mencari tema tertentu untuk mendisplay bonsainya agar tidak tampil biasa-biasa saja. Hal ini sekaligus “latihan” untuk dapat mengikuti pameran internasional bonsai yang bakal diselenggarakan Aksisain di Yogyakarta tahun depan. “Tapi saya akan mencoba lagi dalam pameran di Jepara akhir Oktober nanti,” ujar anak bungsu dua bersaudara ini.
Meski berdomisili di desa Weru Kidul, Kec. Weru, sekitar 4-5 kilometer arah barat pusat kota Cirebon, Fazri menjadi anggota PPBI Kuningan. Mengaku sebagai anak desa, miskin, pernah jadi OB di Jakarta, namun keinginan belajarnya sangat kuat sehingga memilih kuliah di Fakultas Ekonomi Bengkulu semata-mata karena biayanya murah.
Memang sudah menjadi kelaziman dalam setiap pameran (kontes) bonsai, panitia mengatur display sedemikian rupa sehingga semua bonsai tertata dengan rapi di atas meja atau pilar. Semua bonsai diperlakukan sama. Yang sedikit membedakan adalah bonsai ukuran Mame atau Extra Large sehingga membutuhkan pengaturan khusus. Jujur saja, pengaturan bonsai yang seragam seperti itu sebetulnya tidak menguntungkan bagi bosai itu sendiri. Karena setiap bonsai sebetulnya membutuhkan perlakuan yang bisa jadi tidak sama. Yang selama ini sudah dilakukan adalah, pemilik bonsai diperbolehkan membawa tatakan atau meja kecil tersendiri bagi bonsainya.
Maka dengan kehadiran tiga buah bonsai milik Fazri ini membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Sayangnya, tidak ada penjelasan tertulis, setidaknya berupa judul pada bonsai tersebut sehingga memudahkan pengunjung menebak apa maksudnya. Dan soal judul ini, memang sampai dengan hari ketiga setelah pembukaan, ternyata panitia belum memberi label masing-masing bonsai sehingga pengunjung tidak bisa langsung tahu nama pohon, pemilik dan juga predikat penilaiannya. Paling-paling hanya penggemar bonsai sendiri yang tahu makna bendera hijau, biru dan merah yang tertancap di potnya. Itupun panitia sepertinya kesulitan menempatkan bendera sehingga diikatkan dengan tali di pohonnya langsung. Tentu saja pemandangan ini kurang elok dipandang mata. (*)
Sumber : http://jelajahbonsai.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar