|
Serut koleksi Al Qhodiri Probolinggo |
Oleh Henri Nurcahyo
Ketika bonsai sudah disebut “seni bonsai” maka itulah saatnya parameter bonsai yang baik bukan semata-mata urusan teknis semata. Bonsai adalah juga karya seni. Penilaian bonsai tidak bisa hanya dilihat dari gerak dasar, keserasian dan kematangan serta penampilan. Keempat kriteria itulah yang selama ini digunakan dalam pameran (kontes) bonsai selama ini. Apa boleh buat, memang hanya PPBI yang secara ajeg menyelenggarakan kontes di berbagai tempat dengan penjurian yang sudah melembaga.
|
Serut koleksi Teguh Ponorogo |
Berangkat dari anggapan bonsai sebagai karya seni itulah maka dalam setiap pameran bonsai (sejatinya kontes) saya berusaha menikmati pameran bonsai sebagai pameran karya seni. Perkara ada penjurian yang sudah menentukan bonsai yang baik, itu hanya salah satu versi saja. Meski sudah dinyatakan “baik sekali” oleh Juri dan dikukuhkan dalam The Best Tenbahkan Best in Showmisalnya, bisa jadi pilihan juri itu tidak menarik perhatian saya. Sangat mungkin ada bonsai lain diluar pilihan juri yang justru lebih menarik perhatian saya untuk diapresiasi sebagai sebuah karya seni.
Dalam pameran bonsai di Bangkalan ini misalnya (6-13 Oktober), dipilihThe Best Ten untuk kelas madya dan kelas regional. Untuk kelas Madya, sudah saya bahas dalam reportase saya sebelumnya. Sedangkan The Best Ten kelas
|
Wacang, koleksi ...... |
regional saya paparkan sekarang ini. Dari 10 bonsai terbaik kelas regional dalam pameran ini, nyaris tidak ada yang menarik perhatian untuk saya amati lebih jauh. Semuanya saya nilai “biasa-biasa” saja meski dinyatakan terbaik menurut juri.
Kalau toh ada yang sedikit beda adalah bonsai serut koleksi Al Qhodiri Probolinggo. Bonsai yang satu ini terlihat sangat menonjol batangnya yang terlihat kontras dengan beberapa ujung cabang yang berdaun. Secara sepintas bonsai ini sepertinya tidak seimbang, tetapi justru karena tidak seimbang itulah maka keberadaan batang menjadi dominan dan menarik perhatian. Sangat jarang ada bonsai yang lebih menonjolkan
|
Elegan, koleksi David, Sidoarjo |
batangnya ketimbang perantingannya misalnya. Pangkal batangnya mengimajinasikan seperti ular yang sedang tidur melingkar-lingkarkan tubuhnya.
Bonsai yang mengundang imajinasi. Itulah faktor yang membuat orang “dipaksa” untuk menikmati tidak hanya dalam sekali pandang. Bonsai seperti itulah yang membawa pesan bahwa kehadirannya bukan hanya sekadar tiruan dari pohon besar yang ada di alam. Ketika bonsai sudah ditabalkan sebagai karya seni, maka bisa jadi penampilan bonsai itu sama sekali tidak berurusan apakah bentuknya ada di alam atau tidak. Kondisi alam tidak lagi mutlak menjadi acuan untuk menilainya. Kenapa sebuah bonsai dibentuk seperti itu, semata-mata karena pertimbangan artistik yang
|
Kimeng, koleksi Arifin Prolink, Probolinggo |
masih memungkinkan sebagai mahluk hidup.
Pada titik inilah yang membedakan seni bonsai dengan seni patung. Bagaimanapun bonsai adalah mahluk hidup yang memiliki kemauannya sendiri, bukan hanya benda artistik yang dapat diperlakukan apa saja. Namun dalam perkembangannya, sekarang yang namanya seni rupa tidak semata-mata menggunakan elemen benda mati. Seni rupa sudah bergeser menjadi Performance Art yang menjadi sebuah tontonan pertunjukan. Ah sudahlah, itu terlalu melebar kalau dibahas di sini.
Kembali pada The Best Ten kelas regional pameran bonsai di Bangkalan ini, selain serut yang tadi, setidaknya ada lagi yang bisa ditoleh yaitu Serut juga, koleksi Teguh Ponorogo. Perhatikan alur gerak batangnya dari pangkal hingga ke ujung yang seperti meluntir itu, langsung menggiring
|
Serut |
imajinasi pada gerak penari. Ada suasana ritmis yang mampu hadir ketika menelusuri tampilan akar yang menggelembung seperti kaki yang bersimpuh, mengalir ke pangkal batang hingga mencapai kanopi.
Bonsai yang lain, mungkin bisa disebut Wacang, entah koleksi siapa karena namanya terhapus, yang memiliki batang yang sudah rusak. Sebagai karya seni justru kerusakan batang seperti itulah yang menjadi artistik. Sementara sebagai pohon yang hidup, mengundang kekaguman perihal survivalitas. Kesan yang muncul adalah, betapa
|
Tanpa data |
hebatnya daya tahan pohon ini masih bisa tetap hidup meski kondisi batangnya sudah “rusak” parah. Bukan hanya mampusurvive, tapi juga tampil indah. Itulah hakekat sebuah seni bonsai.
Ketujuh bonsai lainnya, silakan menikmati foto-fotonya saja. Kesempatan berikut akan saya bahas beberapa bonsai yang tidak terpilih dalam The Best Ten namun menarik untuk diapresiasi. Tunggu saja. (*)
|
Santigi koleksi Haridi, Pamekasan |
|
Wacang koleksi Mitralen |
|
Tanpa data - 2 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar