Rabu, 11 Juni 2014

Pertarungan Bonsai Lokal dan Impor di Pameran Bogor


M-17, Serut, koleksi Prya utama, Bekasi
(Utama Best in Size) - foto: Henri Nurcahyo
Oleh Henri Nurcahyo

Meskipun seni bonsai memang merupakan budaya impor dari Jepang dan Cina, namun keberadaan pohon-pohon lokal ternyata tidak kalah ketika sudah digarap menjadi bonsai dan mampu tampil menjadi bonsai yang baik. Dengan kata lain, bahwa Indonesia bukan hanya menang dalam hal bahannya saja.  Sebutlah Serut, Ficus, Santigi dan Cemara Udang, adalah sebagian kecil pohon-pohon potensial tersebut. Maka dalam pameran nasional Harmoni Bonsai Bogor 2013 (28 Agustus 7 September), terjadi pertarungan antara bonsai pohon lokal melawan pohon impor.

Menurut pengamatan Jelajah Bonsai, dari 10 bonsai terbaik kelas Madya, terdapat 4 bonsai dari pohon lokal, yaitu serut, asam, cemara udang dan waru. Bahkan dari keempatnya itu, serut koleksi Prya Utama dari Bekasi menyabet predikat “Utama Best in Size”. Dalam katagori di kelasnya, posisi serut ini malah mengalahkan bonsai Lohansung koleksi B. Soeroso (Jakarta) yang hanya menyandang gelar “Madya Best in Size”, meskipun bonsai tersebut secara keseluruhan memperoleh penilaian sebagai Best in Show.

Sementara dari 16 bonsai yang mendapat predikat Baik Sekali (bendera merah) terdapat 9 pohon lokal yang terdiri dari Kimeng (3 pohon), Kawista, Serut, Santigi, Cemara Udang, Delima Batu dan Jeruk. Sedangkan dari 15 bonsai yang dinyatakan baik (bendera hijau) terdapat 8 bonsai pohon lokal, dua diantaranya jenis serut.

M-09, Lohansung, koleksi B. Soeroso, Jakarta
(Best in Show, Madya Best in Size) - 
foto: Henri Nurcahyo
Memang penggolongan lokal dan impor ini masihdebatable, karena jenis pohon yang asalnya impor namun sudah sangat lama mengalami domestikasi sehingga sudah menjadi pohon lokal. Kimeng (Ficus Microcarpa) misalnya, sebetulnya jenis beringin sebagaimana banyak terdapat di Indonesia. Namun memang ada perbedaan yang sangat tipis dengan beringin kebanyakan (Ficus benjamina) yang terdapat di halaman kantor-kantor pemerintah atau pendopo kabupaten dan alun-alun itu. Bagian batang dan ranting Kimeng lebih terang putih dibanding beringin biasa. Yang jelas Kimeng merupakan tumbuhan tropis dari jenis beringin (banyan) yang juga terdapat di Cina, semenanjung Melayu, India, Sri Lanka, Kepulauan Ryukyu, Australia dan Kaledonia Baru.

Kawista (Limonia acidissima) itu juga berasal dari India, namun sudah lama menyebar ke Jawa, yang kemudian disebut Kinco. Namun yang kemudian menarik dibicarakan adalah, bagaimana menggarap pohon-pohon lokal itu menjadi bahan bonsai yang baik, sehingga tidak harus mendatangkan bahan bonsai dari pohon impor. Bahwa banyak pohon lokal yang dapat menjadi bahan bonsai yang bagus ini yang harus terus menerus didorong. Jangan hanya bangga pohon lokal yang diekspor bahannya, kemudian digarap di luar negeri, dan akhirnya diimpor kembali ke Indonesia sebagai bonsai yang (hampir) jadi. Cerita ini sudah klasik, bukan hanya bonsai, melainkan banyak menyangkut banyak produk lainnya yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Itulah Indonesia......

M-01, Cemara Sinensis, koleksi Engkan, Cipanas.
 - foto: Henri Nurcahyo
Beruntunglah belakangan ini dalam sejumlah pameran sudah banyak muncul bonsai serut yang memang merupakan pohon lokal. Kebanyakan serut yang tampil bagus dalam pameran biasanya tumbuh di bebatuan. Tidak terkecuali serut koleksi koleksi Prya Utama dari Bekasi yang meraih predikat Utama Best in Size. Bila diperhatikan seksama, sepertinya bonsai ini terdiri dari dua pohon dan membentuk gaya twin. Daun-daunnya sengaja dibuat gundul sehingga menampakkan struktur perantingan yang sempurna.

Sedangkan Lohansung  (Podocarpus macrophyllus) koleksi B. Soeroso (Jakarta) memang merupakan pohon impor dari Taiwan. Di habitat aslinya Lohansung atau Podocarpus adalah pohon semak menyerupai cemara dengan tinggi pohon rata-rata 1-25 meter. Daun tanaman ini memang kecil dan tebal namun memiliki batang dan ranting yang kuat. Konon Lohansung bisa mencapai umur hingga ratusan tahun, yang membawa konsekuensi yaitu membutuhkan waktu puluhan tahun baru bisa disebut matang.  Bisa jadi bonsai yang jadi Best in Show di Bogor ini memang sudah diimpor setelah mengalami training puluhan tahun di negara asalnya.

M-06, Ficus Filipines, koleksi John Prawira, 
Tangerang - foto: Henri Nurcahyo
Berikut ini adalah daftar keseluruhan pemenang kelas Madya dalam Pameran Nasional Harmoni Bonsai Bogor 2013 di halaman samping Bogor Trade World, atau bekan gedng Pemerintah Kabupaten Bogor di Jalan Veteran.














Sepuluh (10) Bonsai Terbaik:
M-09, Lohansung, koleksi B. Soeroso, Jakarta (Best in Show, Madya best in size)
M-17, Serut, koleksi Prya utama, Bekasi (Utama Best in Size)
M-01, Cemara Sinensis, koleksi Engkan, Cipanas
M-06, Ficus Filipines, koleksi John Prawira, Tangerang
M-08, Asem, koleksi Dr. Win, Bekasi
M-14, Phusu Batu, koleksi B. Soeroso, Jakarta
M-25, Buxus, koleksi Akai, Medan
M-29, Cemara Udang, koleksi Billy, Medan
M-41, Waru, koleksi Ujang Yayat, Jakarta
M-33, Sancang, koleksi Sugianto, Bekasi

M-08, Asem, koleksi Dr. Win, Bekasi - foto: Henri Nurcahyo
















Baik Sekali (Merah)
M-03, Kawista, koleksi Teddy, Bandung
M-04, Kimeng, koleksi Tora, Bekasi
M-05, Seribu Bintang, koleksi Darius, Bandung
M-07, Anting Puteri, koleksi Andries, Cianjur
M-10, Serut, koleksi Teddy, Bandung
M-11, Phusu Batu, koleksi Gafuraningsyah, Bekasi
M-16, Kimeng, koleksi Winarto Slamet, Bali
M-18, Santigi, koleksi Adi Bima, cirebon
M-22, Jeruk, koleksi Ny. Suprianti, Bekasi
M-24, Cemara Udang, koleksi Prof. Zudan, Bekasi
M-26, Santigi, koleksi Prof. Zudan, Bekasi
M-27, Kimeng, koleksi John Prawira, Tangerang
M-28, Cemara Duri, koleksi Teddy, Bandung

M-36, Delima Batu, koleksi Prof Zudan, Bekasi
M-38, Arabica, koleksi Prof Zudan, Bekasi
M-39, Arabica, koleksi Eca Meiza, Bogor

Baik (hijau)
M-02, Retusa, koleksi Budi Sulistyo, Jakarta
M-12, Serpang, koleksi Zakaria, Tangerang
M-13, Serut, koleksi Taman, Bekasi
M-15, Iprik Dollar, koleksi Budi Sulistyo, Jakarta
M-19, Kawista, koleksi Maryuki, Jakarta
M-20, Kemuning Bilong, koleksi Budi Sulistyo, Jakarta
M-21, Kimeng, koleksi Taman, Bekasi
M-23, Serut, koleksi Prof. Zudan, Bekasi
M-30, Cendrawasih, koleksi Sugeng, Padang
M-31, Kalimantan, koleksi Cecep Syaefullah, Cipanas
M-25, Buxus, koleksi Akai, Medan - foto: Henri Nurcahyo
M-32, Ulmus, koleksi HM Bn Holik Qudratullah, SE, Bekasi
M-34, Boxus, koleksi Ramli, Bogor
M-35, Seribu Bintang, koleksi Santoso, Bogor.
M-37, Mustam, koleksi Prof Zudan, Bekasi
M-40, Iprik, koleksi Eca Meiza, Bogor. (*)









M-29, Cemara Udang, koleksi Billy, Medan 
foto: Henri Nurcahyo










M-33, Sancang, koleksi Sugianto, Bekasi - foto: Henri Nurcahyo
M-41, Waru, koleksi Ujang Yayat, Jakarta - foto: Henri Nurcahyo
M-14, Phusu Batu, koleksi B. Soeroso, 
Jakarta - foto: Henri Nurcahyo

Sudut Pandang Bonsai Tidak Harus Sejajar Mata

Menikmati bonsai tidak harus dilakukan dengan menempatkan bonsai tersebut sejajar dengan pandangan mata. Wahjudi D. Sutomo, seorang seniman bonsai senior, mempopulerkan hal ini dalam arena “Pameran Seni Bonsai Anjuk Ladang” di Nganjuk baru-baru ini. Meski pandangannya tersebut sudah lama sekali pernah dilontarkan, namun baru kali ini dia menampilkan dalam bentuk contoh pameran bonsainya sendiri.

Dalam arena pameran di alun-alun Nganjuk itu, Wahjudi sengaja tidak mengikut-sertakan bonsainya dalam kontes, namun hanya menampilkannya sebagai “bonsai ekshibisi” alias hanya dipamerkan saja, tidak perlu ada penilaian. Sebanyak 9 bonsainya ditata sedemikian rupa oleh Wahjudi sendiri dalam sebuah areal persegi panjang. Di sudut areal tersebut dipasang tulisan: “Mencoba menkmati bonsai dari sudut pandang burung (Bird View) dan sudut pandang katak (Frog View)”. Kemudian ada identitas di bawahnya: Lembaga Kajian Bonsai Indonesia.


Selama ini memang seolah-olah ada ketentuan bahwa menikmati bonsai harus sejajar dengan pandangan mata. Karena itu maka bonsai ditempatkan sedemikian rupa di atas tatakan atau meja yang sejajar atau sedikit di bawah pandangan mata. Kira-kira setinggi dada orang dewasa. Itu sebabnya penataan pameran bonsai juga dilakukan seperti itu dan berlaku untuk semua bonsai. Padahal, tidak semua bonsai harus diperlakukan seperti itu. Ada bonsai yang justru semakin menarik kalau diposisikan lebih ke bawah, sehingga cara menikmatinya justru dari arah atas. Inilah yang disebut Wahjudi “Pandangan Burung”. Sementara itu, ada pula bonsai yang justru tampak lebih indah manakala dipandang dari arah bawah, seolah-olah seperti pandangan seekor katak (Frog View).

Sebetulnya Wahjudi sendiri sudah mengetrapkan pandangannya tersebut dalam menata bonsainya sendiri di kebunnya. Sebagaimana yang pernah disaksikan oleh penggemar bonsai yang pernah mengunjungi kebun bonsai Wahjudi di kawasan Sidosermo Surabaya, bonsai-bonsai koleksi Wahjudi tidak semuanya ditempatkan di atas tatakan atau semacam meja setinggi perut oranag dewasa. Ada beberapa bonsai yang ditempatkan di atas attakan yang tinggi sehingga orang harus menyaksikannya dari arah bawah.

Model penataan seperti yang dilakukan Wahjudi ini memang tidak (belum) lazim dalam display bonsai. Apalagi dalam sebuah pameran bonsai kompetisi, pasti tidak akan mungkin terjadi karena akan menyulitkan panitia. Padahal, dalam prakteknya, untuk bonsai-bonsai tertentu, gaya panorama misalnya, pandangan yang ideal justru dari arah atas sehingga dapat terlihat keseluruhan lansekapnya. Tentu tidak berlaku untuk semua gaya panorama. Sementara bonsai yang dinikmati dari sudut pandang bawah (frog view) tidak pernah ada dalam kontes bonsai. (*)
Henri Nurcahyo - 0812 3100 832
















Bonsai yang Baik Bukan Sekadar Urusan Teknis


Serut koleksi Al Qhodiri Probolinggo

Oleh Henri Nurcahyo

Ketika bonsai sudah disebut “seni bonsai” maka itulah saatnya parameter bonsai yang baik bukan semata-mata urusan teknis semata. Bonsai adalah juga karya seni. Penilaian bonsai tidak bisa hanya dilihat dari gerak dasar, keserasian dan kematangan serta penampilan. Keempat kriteria itulah yang selama ini digunakan dalam pameran (kontes) bonsai selama ini. Apa boleh buat, memang hanya PPBI yang secara ajeg menyelenggarakan kontes di berbagai tempat dengan penjurian yang sudah melembaga.

Serut koleksi Teguh Ponorogo
Berangkat dari anggapan bonsai sebagai karya seni itulah maka dalam setiap pameran bonsai (sejatinya kontes) saya berusaha menikmati pameran bonsai sebagai pameran karya seni. Perkara ada penjurian yang sudah menentukan bonsai yang baik, itu hanya salah satu versi saja. Meski sudah dinyatakan “baik sekali” oleh Juri dan dikukuhkan dalam The Best Tenbahkan Best in Showmisalnya, bisa jadi pilihan juri itu tidak menarik perhatian saya. Sangat mungkin ada bonsai lain diluar pilihan juri yang justru lebih menarik perhatian saya untuk diapresiasi sebagai sebuah karya seni.

Dalam pameran bonsai di Bangkalan ini misalnya (6-13 Oktober), dipilihThe Best Ten untuk kelas madya dan kelas regional. Untuk kelas Madya, sudah saya bahas dalam reportase saya sebelumnya. Sedangkan The Best Ten kelas 
Wacang, koleksi ......
regional saya paparkan sekarang ini. Dari 10 bonsai terbaik kelas regional dalam pameran ini, nyaris tidak ada yang menarik perhatian untuk saya amati lebih jauh. Semuanya saya nilai “biasa-biasa” saja meski dinyatakan terbaik menurut juri.

Kalau toh ada yang sedikit beda adalah bonsai serut koleksi Al Qhodiri Probolinggo. Bonsai yang satu ini terlihat sangat menonjol batangnya yang terlihat kontras dengan beberapa ujung cabang yang berdaun. Secara sepintas bonsai ini sepertinya tidak seimbang, tetapi justru karena tidak seimbang itulah maka keberadaan batang menjadi dominan dan menarik perhatian. Sangat jarang ada bonsai yang lebih menonjolkan
Elegan, koleksi David, Sidoarjo
batangnya ketimbang perantingannya misalnya. Pangkal batangnya mengimajinasikan seperti ular yang sedang tidur melingkar-lingkarkan tubuhnya.

Bonsai yang mengundang imajinasi. Itulah faktor yang membuat orang “dipaksa” untuk menikmati tidak hanya dalam sekali pandang. Bonsai seperti itulah yang membawa pesan bahwa kehadirannya bukan hanya sekadar tiruan dari pohon besar yang ada di alam. Ketika bonsai sudah ditabalkan sebagai karya seni, maka bisa jadi penampilan bonsai itu sama sekali tidak berurusan apakah bentuknya ada di alam atau tidak. Kondisi alam tidak lagi mutlak menjadi acuan untuk menilainya. Kenapa sebuah bonsai dibentuk seperti itu, semata-mata karena pertimbangan artistik yang 
Kimeng, koleksi Arifin Prolink, Probolinggo
masih memungkinkan sebagai mahluk hidup.

Pada titik inilah yang membedakan seni bonsai dengan seni patung. Bagaimanapun bonsai adalah mahluk hidup yang memiliki kemauannya sendiri, bukan hanya benda artistik yang dapat diperlakukan apa saja. Namun dalam perkembangannya, sekarang yang namanya seni rupa tidak semata-mata menggunakan elemen benda mati. Seni rupa sudah bergeser menjadi Performance Art yang menjadi sebuah tontonan pertunjukan. Ah sudahlah, itu terlalu melebar kalau dibahas di sini.

Kembali pada The Best Ten kelas regional pameran bonsai di Bangkalan ini, selain serut yang tadi, setidaknya ada lagi yang bisa ditoleh yaitu Serut juga, koleksi Teguh Ponorogo. Perhatikan alur gerak batangnya dari pangkal hingga ke ujung yang seperti meluntir itu, langsung menggiring 
Serut
imajinasi pada gerak penari. Ada suasana ritmis yang mampu hadir ketika menelusuri tampilan akar yang menggelembung seperti kaki yang bersimpuh, mengalir ke pangkal batang hingga mencapai kanopi.

Bonsai yang lain, mungkin bisa disebut Wacang, entah koleksi siapa karena namanya terhapus, yang memiliki batang yang sudah rusak. Sebagai karya seni justru kerusakan batang seperti itulah yang menjadi artistik. Sementara sebagai pohon yang hidup, mengundang kekaguman perihal survivalitas. Kesan yang muncul adalah, betapa 
Tanpa data 
hebatnya daya tahan pohon ini masih bisa tetap hidup meski kondisi batangnya sudah “rusak” parah. Bukan hanya mampusurvive, tapi juga tampil indah. Itulah hakekat sebuah seni bonsai.

Ketujuh bonsai lainnya, silakan menikmati foto-fotonya saja. Kesempatan berikut akan saya bahas beberapa bonsai yang tidak terpilih dalam The Best Ten namun menarik untuk diapresiasi. Tunggu saja. (*)
Santigi koleksi Haridi, Pamekasan
Wacang koleksi Mitralen
 
Tanpa data - 2

Budidaya Anting Putri, Cocok untuk Bonsai

Oleh Henri Nurcahyo

Deddy H Atamimi dan Anting Putri,
bonsai terbaik di Pameran Bogor 
Dari sekian jenis pohon-pohon yang ideal untuk bonsai, Anting Putri(Wrightia religiosa sp) adalah salah satu pohon yang cocok. Namun karena pohon ini berasal dari China maka perlu dilakukan budidaya untuk mendapatkan perbanyakannya. Bahkan di kawasan Bintan dan Pulau Batam sudah dilakukan budidaya besar-besaran meskipun bukan semata-mata untuk kepentingan bonsai.

Bunga Anting Putri
Pohon ini juga dikenal dengan nama Melati Anting, ada yang menamakan Santalia. Karakter Anting Putri memang sudah indah sejak awalnya. Banyak bonsai Anting Putri yang mengeluarkan bunga-bunga putih mirip melati yang menggantung indah dan bisa menjadi dominan dibanding daunnya. Bunga-bunga berbau harum ini konon justru dibutuhkan untuk keperluan sembahyang di kuil dan vihara. Mungkin itu sebabnya nama latinnya menggunakan kata religiosa.

Anting Putri koleksi Andries Cianjur
Dan yang menarik, keindahan Anting Putri ini justru lebih terlihat manakala dibuat sebagai bonsai ketimbang ditanam biasa sebagai penghias taman misalnya. Di negara asalnya malah digunakan sebagai tanaman pagar biasa. Kondisi keterbatasan dalam pot bonsai justru merangsang pertumbuhan bunga sehingga menjadikannya indah dipandang.

Bagaimana cara melakukan perbanyakan? “Gampang, cara apa saja bisa. Semua cara perbanyakan sudah saya lakukan,” tutur Deddy H. Atamimi. Menurut pengalamannya, Anting Putri dapat diperbanyak dengan biji, setek batang, setek akar dan juga cangkok. “Tapi kalau untuk bahan bonsai lebih ideal dicangkok,” tambah ketua PPBI Cabang Bogor itu. Dengan cara dicangkok maka sudah bisa didapatkan bakalan yang cukup besar, bisa dipilih batang yang sudah memiliki gerak dasar bagus. Untuk mempercepat pertumbuhannya, Deddy menyarankan hasil cangkokan itu langsung ditanam di tanah sekaligus dapat dilakukan program akar.

Anting Putri hasil budidaya
Sebagai pemain bonsai senior di Bogor, Deddy merasa berkewajiban menumbuh-suburkan para penggemar bonsai di kotanya. Apalagi posisinya sebagai ketua umum PPBI Cabang Bogor. Maka hasil budidaya Anting Putri yang dimilikinya sering diberikan pada para pemula itu. “Tapi sekarang sudah habis, jangan minta lagi lho,” ujarnya disusul tawa.

Daunnya memang sudah kecil dan manakala diprogram dengan baik akan sanggup mengecil lagi sampai ukuran beras. Pohon bisa digundul habis daunnya, baru nanti akan tumbuh sendiri dalam ukuran yang lebih kecil dari semula. Dengan adanya pruning ini memang pembagian makanan ke masing-masing daun menjadi lebih sedikit. Namun bonsai tetap sehat karena asupan makanan yang teratur.

Bakalan Anting Putri
Mengenai sifat-sifatnya,Anting Putri dikenal sebagai tanaman yang rakus makanan. Jika kurang asupan makanan, termasuk air, pertumbuhan akan mandeg. Apalagi pertumbuhan perakarannya tergolong cepat. Manakala ditanam di pot, media yang digunakan cukup pasir Malang ditambah humus. Bisa digunakan pupuk kimia, Dekastar misalnya, yang bersifat slow release sehingga bisa bertahan enam bulan baru dipupuk lagi. “Jangan lupa pot harus berlubang bawahnya agar air tidak menggenang,” ujar lelaki asal Surabaya ini.

Soal penyakit bisa diatasi. Biasanya ulat, belalang dan semut atau kutu putih. Yang penting bagaimana menjaga kebersihan bonsai, harus sering dibersihkan, disemprot air, disikat, dan diberikan obat anti hama secara teratur.

Untuk keperluan program, Anting Putri tidak membutuhkan pengawatan sebagaimana program bonsai gaya Jepang. Cukup mengandalkan pertumbuhan alami, dilakukan kontrol pertumbuhan, dan memang membutuhkan waktu lebih lama. Cara program seperti ini memang lazim dilakukan di China. Kalau mengikuti bentuk di habitat aslinya, pohon ini akan tumbuh dengan gaya seperti sapu terbalik (broom) namun masih memungkinkan diprogram gaya lainnya.

Dengan adanya perbanyakan secara besar-besaran langsung di alam, maka keberadaan Anting Putri tidak lagi murni dapat disebut pohon impor. Pulau Bintan dan Batam sekarang sudah dapat dikatakan sebagai habitat baru Anting Putri sebagaimana Cemara Udang di Madura. Dibanding dengan Anting Putri yang langsung didatangkan dari China, maka Anting Putri dari Pulau Bintan lebih bagus. Bahkan ditanam dimana saja  Anting Putri bisa tumbuh, asal memiliki panas matahari yang cukup. Ini memang pohon yang bandel. Tentu saja manakala ditanam di dataran tinggi yang dingin menjadi kurang bagus dibanding habitat daerah panas.


Persoalannya adalah, banyak kalangan pemain bonsai yang tidak sabar melakukan budidaya sendiri. Mereka langsung impor bonsai Anting Putri dari China dalam bentuk setengah jadi, malah sudah dalam bentuk jadi. Hal ini memang sah-sah saja, meski dalam dunia perbonsaian itu justru proses membuat bonsai hingga jadi itulah yang jauh lebih penting ketimbang sudah tahu langsung dalam bentuk yang sudah bagus. Itu sebabnya bonsai yang sudah jadi, apalagi yang bagus dan sering menang dalam banyak kontes, sulit dihargai dengan nilai berapapun. Tidak sebanding dengan proses dan waktu yang dibutuhkannya. (*)

Sumber http://jelajahbonsai.blogspot.com/

SENIMAN BONSAI DUNIA

  • Masahiko Kimura 

Masahiko Kimura adalah pemegang saham bonsai sekaligus seniman dan praktisi judo terkenal yang brutal . Kimura sangat terkenal di seluruh dunia .Dia pertama kali mulai belajar bonsai dalam rangka untuk menyenangkan hati ibunya .Dia mampu membuat terkenal industri bonsai ini karena cara dia mampu membentuk kayu mati.

  • Ben Oki

Ben Oki adalah seniman bonsai berbintang. lanskapis dan tukang kebun dengan gelar bisnis dari salah satu bisnis yang paling bergengsi sekolah Jepang ini telah menciptakan kebun untuk bintang film seperti Cybil Shepherd. Semua karyanya menunjukkan tipe2 membonsai zaman klasik, walaupun ia belajat dari master asli bonsai modern.

  •  Lindsey Bebb

Lindsey Bebb adalah salah satu seniman bonsai terkemuka Australia . Dia telah membentuk berbagai jenis bonsai selama hampir 40 tahun dan telah membangun bisnis yang sukses di pekerjaannya yaitu hanya menjalankan toko ritel terakreditasi penuh bonsai di Australia.

  • Quinquan Zhao

Quinquan Zhou yang paling terkenal untuk membuat teknik membonsai "penjing"Lahir di dekat Sungai Yangtze di Cina Tengah, Zhou telah mengelilingi Eropa, Pasifik, dan Amerika untuk mengajar dan merancang segala sesuatu mengenai bonsai. (lanskap miniatur yang menggabungkan bonsai dengan tanah, dedaunan, dan batu).

  • Robert Steven               

Robert Steven adalah salah satu seniman bonsai yang terkenal di Indonesia.. Dia dikenal pantang menyerah untuk teknik "penjing" pada bonsai .pekerjaan lainnya si Robert tidak memiliki sifat-sifat indah seperti keindahannya dalam mengukir bonsai. Namun, si Robert ini aktrab dipanggil dengan "bonsai's anak nakal" .Dia telah memenangkan penghargaan mainstream utama dalam bidang membonsai , termasuk penghargaan bonsai Ben Oki International. 

Design Award.Jhon Naka

Mendiang John Naka adalah seniman bonsai yang paling terkenal Amerika  di zamannya. Meskipun ia lahir di AS, ia kembali ke Jepang untuk belajar bonsaipada usia yang sangat muda. Dia aktif membuat bonsai Amerika dengan jumlah  banyak tahun 1950-an dan 60an,